Hari masih pagi ketika mobil avanzaku berjalan menyusuri jalan setapak di desa Sukamandi, yang terletak diatas sebuah bukit di Bandung. Desa itu adalah desa nenekku yang bernama nenek Annie.

Desa indah itu dikelilingi sawah yang sudah siap dipanen, yang tertiup angin sepoi-sepoi yang segar, membuat sawah yang luas itu terlihat seperti permadani kelas satu. Air jernih mengalir dari sebuah lembah, turun ke bumi dengan deras kebawah sungai yang berkilau tertimpa sinar matahari pagi. Pohon yang rindang menghiasi jalan setapak yang kami susuri, menggugurkan daunnya yang kering kuning keemasan.

Hanya dalam waktu 15 menit setelah mobil kami menginjakkan bannya di jalan masuk desa Sukamandi, rumah nenek kami terlihat juga. Rumah mungil bercat biru nenek, dengan halaman penuh bunga, terlihat dari kaca mobil. Otomatis, aku berteriak nenek dengan kekuatan suara 70 decibel, didepan telinga ayahku yang sedang menyetir. Hasilnya, ban kami nyasar satu ke selokan.

Kebisingan karena ban kami nyugsep satu ke selokan ternyata terdengar sampai ke telinga beberapa penduduk, termasuk nenek. Nenek keluar. Wajahnya antara bingung, kaget, dan geli. Nenek tertawa mendengar ban kami nyungsep gara-gara aku berteriak di telinga ayahku. Aku malu dan panik, walau akhirnya nyengir juga.

Setelah kami meminta maaf pada penduduk atas kebisingan yang kami buat ( khusus aku, pada ayah dan ibu yang marah ), kami masuk ke rumah nenek.

Nenek adalah seorang wanita berumur 64 tahun. Namun, wajah dan tubuhnya yang atletis membuatnya seperti ibu-ibu berumur 50 tahun. Nenek keturunan asli Indo-Belanda. Matanya biru cemerlang, dibingkai dengan kacamata separo bulan, persis seperti kacamata Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts dalam cerita fiksi Harry Poter. Nenek sangat pandai memasak. Mulai dari masakan Indonesia, Asia seperti Jepang dan China, dan Eropa. Nenek juga pandai memasak Ja Jang Myun, makanan khas Korea yang menjadi favoritku.

Hmm....dari dalam rumah tercium wangi masakan. Benar dugaanku! Nenek sudah menyiapkan Nasi kebuli, Ayam pop, ayam kalio, Nasi goreng, sayur lodeh, Lasagna, Spagetti bolognaise, dan kepiting saus tiram. Yummy!

Dengan kecepatan cahaya, adikku Dimas, 12 tahun dengan muka seperti Daniel Radcliffe, rambut acak-acakan dan hiperaktif mode on, langsung duduk di kursi, mengambil semua makanan yang ada dan menaruhnya di piring. Lantas, kami semua tertawa.

“Dasar Dimas! Nanti kamu gendut, lho.”kata nenek geli.

Kami makan. Porsi untuk 45 orang itu kami babat habis. Padahal kami hanya berlima. Alhasil, mengambil sendokpun seolah seperti mengangkat beban 100kg.

“May, Dimas!!”

Terdengar teriakan dari pintu rumah nenek. Itu sepupu kami, Arif, mukanya ceria, dengan rambut jigrak mirip-mirip Derby Romero, umurnya 13 tahun, sama denganku. Rumahnya berada tidak jauh dari rumah nenek.

“Arif, Kangennya!”teriak kami senang seraya memeluknya.
Setelah kuperhatikan, sepertinya ada yang kurang. Kemudian aku menyadari apa yang kurang disini.

”Arif, dimana Sarah?” tanyaku. Sarah adalah kakak dari Arif.

“Oh, dia sakit.”katanya enteng, tetapi matanya berkata tidak. Dia buru-buru menyalami kami satu persatu, seolah tidak ingin hal tadi dibahas. Nenek kemudian bertanya;

”Sakit apa? Kemarin dia kesini masih sehat wal’afiat.”
Arif menjawab Sarah sakit demam. Kemudian, kami mengobrol bersama. Kami pada awalnya mengobrol tentang masakan nenek yang kualitasnya nyaris sama dengan hotel bintang lima. tetapi obrolan kami nyasar ke ‘pertandingan bola’ tadi malam, yang menurutku sama sekali tidak seru. Akhirnya aku meninggalkan mereka, yang kelihatannya siap mengobrol bola sampai berbusa.

Aku keluar rumah. Hmm...udara diluar segar sekali! Tak berpolusi, juga dingin. Karena bosan, aku berjalan-jalan sekitar sini. Rumah disini kecil dan berjauh-jauhan. Efeknya jadi sepi dan tentram. Tetapi rumah disini bagus dan bersih, juga terawat dan halamannya rindang dan asri.

Aku berjalan lebih ke Barat, kearah sebuah hutan. Disana sama sekali tidak ada rumah. Merasa seperti petualang, aku mendekati hutan itu.
Ternyata aku salah, ditengah pepohonan itu, ada sebuah rumah bercat hitam bobrok. Jendelanya sudah rusak, dan kesannya sedikit menyeramkan. Aku teringat film Monster House, yang rumahnya memakan manusia hidup-hidup. Rumah ini mirip sekali dengan rumah yang ada di film tersebut, hanya ebih menyeramkan. Pohon-pohon yang ada di sekelilingnya juga memberi efek yang cukup untuk membuat orang pingsan berbusa hanya dengan melihatnya pada malam jum’at kliwon, jam 12 sendirian. Fantastis.

Tiba-tia, terdengar suara aneh dari dalam rumah. Seperti teriakan, tetapi juga seperti orang tertawa melengking. aku sedikit bergidik. tapi karena penasaran, akupun masuk kedalam untuk melihat ada apa. Pintu itu berderit ketika kubuka...


Apa yang terjadi? tunggu postingan berikutnya...

0 Responses so far.

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...